Riwayat Srī Caitanya Mahãprabhu.



Oleh Bhaktivinode Thākura IPenjelasan ini diterbitkan untuk pertama kalinya dimuat dalam karya tulis singkat oleh Srila Bhaktivinode Thākura berjudul "srī Caitanya Mahāprabhu: Riwayat dan AjaranNya. "(Sri Caitanya Mahāprabhu His Life and Precepts.] 




Pada tanggal 20 Agustus tahun 1896] Sri Caitanya Mahāprabhu dilahirkan di Māyāpur di kota Nadia pada waktu magrib tanggal 23 bulan Phālguna tahun 1407 Sakābda, yaitu 18 Februari tahun 1486. Pada saat Srī Caitanya Mahäprabhu di lahirkan, ada gerhana bulan. Sesuai dengan kebiasaan pada saat-saat seperti itu, para penduduk Nadia sedang mandi di sungai Bhāgīrathī (Gangga) dengan mengucapkan Haribol dengan suara yang keras. Ayah Sri Caitanya bernama Jagannātha Misra adalah seorang brāhmaņa miskin yang mengikuti ajaran Veda. Ibu Sri Caitanya bernama Sac-devī adalah wanita yang memiliki segala sifat yang baik. Ayah dan ibu Srī Caitanya keturunan dari ke luarga-keluarga brähmana yang berasal dari daerah Sylhet. Srī Caitanya Mahaprabhu anak yang tampan sekali, dan ibu-ibu tetangga datang untuk.melihat Srī Caitanya Mahāprabhu dengan membawa bingkisan. Kakek Sri.Caitanya yang bernama Pandita Nilāmbāra Cakravarti adalah seorang ahli ilmu perbintangan yang terkenal. Nilāmbāra Cakravartī meramalkan bahwa anak itu akan menjadi kepribadian yang agung sekali sesudah beberapa waktu. Karena itu, Nilāmbāra Cakravartī memberikan nama Višvambhara kepada śrī Caitanya. lbu-ibu dari daerah itu memberikan nama Gaurahari kepada Srī Caitanya Mahāprabhu karena wajahNya berwarna kuning emas, dan ibuNya menjulukinya dengan nama Nimāi karena Beliau dilahirkan dekat sebatang pohon nimba. Anak itu tampan sekali. Karena itu, semua orang senang sekali melihat Beliau setiap hari. 


Dalam masa kanak-kanakNya Šī Caitanya Mahāprabhu suka bermain dan bercanda. Sesudah Srī Caitanya berumur lima tahun, Beliau diterima sebagai murid di sebuah pāthasālā (sekolah). Disekolah itu Beliau menguasai bahasa Bengala dalam waktu yang singkat sekali. Dalam kebanyakan riwayat hidup Srī Caitanya yang disusun pada waktu itu, disebutkan ceritera-ceritera tertentu mengenai Caitanya. Ceritera-ceritera itu merupakan catatan-catatan sederhana mengenai keajaiban yang dilakukan selama usia muda Beliau. Disebutkan bahwa waktu Srī Caitanya masih bayi di pangkuan ibunya Beliau menangis terus menerus, dan bila ibu-ibu tetangga menyanyi Haribol Beliau berhenti menangis. Karena itu 'Haribol senantiasa diucapkan di rumah Srī Caitanya. Kejadian ini merupakan ramalan tentang missi Srī Caitanya pada kemudian hari. Juga dinyatakan bahwa ibu Srī Caitanya pernah memberikan manisan kepada-Nya, lalu Beliau tidak mau makan manisan itu, melainkan Beliau makan tanah liat. IbuNya minta alasan, lalu Beliau menyatakan bahwa oleh karena tiap-tiap manisan tidak lain daripada tanah liat yang sudah dirubah, tanah liat juga dapat dimakan. IbuNya, istri seorang pandita, menjelaskan bahwa setiap benda dalam keadaan khusus cocok untuk penggunaan khusus Tanah, dalam keadaan sebagai teko, dapat dipergunakan untuk membawa air, tetapi dalam keadaan sebagai batu bata, tanah tidak mungkin dipergunakan untuk membawa air. Karena itu, tanah liat dalam bentuk manisan dapat dipergunakan sebagai makanan, tetapi tanah liat dalam bentuk kedudukan-kedudukan yang lain tidak dapat dipergunakan sebagai makanan. Anak itu diyakini, lalu Beliau setuju bahwa dia memang bodoh karena Beliau telah makan tanah tiat. Beliau setuju untuk menghindari kesalahan itu pada masa yang akan datang. 


Peristiwa lain yang ajaib juga diceriterakan. Dinyatakan bahwa seorang brähmana yang sedang berziarah menjadi tamu di rumah Jagannātha Mišra. Brāhmana itu memasak dan mempersembahkan makanan kepada Krsha dengan cara bersemadi kepada Krsna. sementara itu, Srī Caitanya yang masih anak-anak datang, lalu makan nasi yang sedang dipersembahkan itu. Brāhmana tersebut kaget melihat perbuatan anak itu, kemudian dia masak untuk ke dua kalinya atas permohonan Jagannātha Misra. Sekali lagi anak itu datang dan makan nasi yang telah dimasak pada saat brāhmana sedang mempersembahkan makanan itu kepada Krsna dengan cara bersemadi. Brāhmana itu diyakini oleh Jagannātha Mišra untuk masak sekali lagi untuk yang ke tiga kalinya. Kali ini semua penghuni rumah sudah tidur. Srī Caitanya yang masih anak-anak memperlihatkan DiriNya sebagai Krsna kepada brähmana yang sedang berziarah itu lalu memberikan berkah kepada beliau. Kemudian brāhmana itu tergugah rasa kebahagiaan rohani karena obyek persembahyangannya telah muncul di hadapannya. Juga dinyatakan bahwa dua orang pencuri pernah menculik Srī Caitanya dari depan pintu rumah ayahNya dengan maksud mencuri permata-permata perhiasannya. Mereka memberikan manisan kepada Srī Caitanya sambil melarikanNya. Srī Caitanya yang masih anak-anak memperlihatkan tenagaNya yang mengkhayalkan dan menipu ke dua pencuri itu sehingga mereka membawa Beliau kembali ke rumah ayah-Nya. Kedua pencuri itu takut di tangkap. Karena itu, mereka menaruh anak itu di depan rumahNya lalu melarikan diri. Perbuatan ajaib lainnya yang diuraikan adalah peristiwa waktu anak itu minta dan mendapatkan segala makanan yang telah dikumpulkan untuk bersembahyang kepada Krsna pada hari Ekādasī dari Hiranya dan Jagadisa. 


Waktu Srī Caitanya Mahāprabhu berumur empat tahun, dia duduk di atas panci-panci yang sudah dibuang dan dianggap tidak suci oleh ibunya. Srī Caitanya menjelaskan kepada ibuNya bahwa tiada soal suci atau tidak suci untuk panci-panci terbuat dari tanah liat yang sudah dibuang sehabis masak. Ceritera-ceritera tersebut menjelaskan tentang masa kanak-kanak Srī Caitanya Mahaprabhu sampai berumur lima tahun. Waktu Srī Caitanya berumur delapan tahun Beliau diterima sebagai murid di sekolah tola Gañgādāsa Pandita di Ganğānegara dekat desa Mäyapur. Dalam waktu dua tahun Srī Caitanya sudah menguasai tata bahasa dan ilmu pidato bahasa Sanskerta. Sesudah itu, Srī Caitanya mem-baca dan mempelajari buku sendiri di rumah. Di rumah Srī Caitanya menemukan semua buku yang penting milik ayahNya, sebab ayahNya juga seorang pandita. Rupanya Sri Caitanya Mahāprabhu membaca smrti dan nyaya dengan cara belajar sendiri dalam persaingan dengan kawan-kawanNya, yang sedang belajar sebagai murid-murid seorang pandita terkenal bernama Raghunātha Siromani. Dalam usia sepuluh tahun, Srī Caitanya sudah menjadi seorang sarjana yang ahli di bidang tata bahasa, ilmu pidato, smrti dan nyāya. Sesudah ini, kakak Srī Caitanya bernama Viśvarūpa meninggalkan rumahnya dan menerima asrama (status) sebagai seorang sannyãsi (rohaniwan yang meninggalkan hal-hal duniawi). Walaupun Srī Caitanya masih anak yang muda sekali, Beliau menghibur ayah dan ibunya dengan mengatakan bahwa dia akan melayani mereka dengan maksud memuaskan Tuhan Yang Maha-esa tidak lama sesudah itu, ayah Srī Caitanya meninggal dunia. IbuNya sangat sedih, dan Mahāprabhu dengan wajahNya yang tenang seperti biasa menenangkan hati ibuNya yang sudah menjadi janda. Waktu Srī Caitanya berumur 14 atau 15 tahun Beliau menikah dengan Lakşmidevi, putri Vallabhācārya, yang juga berasal dari Nadia. Pada waktu itu Srī Caitanya Mahāprabhu adalah salah seorang di antara sarjana-sarjana yang paling hebat di seluruh Nadia. Pada waktu itu, Nadia terkenal sebagai pusat perguruan filsafat nyāya dan bahasa Sanskerta. Jangankan para smâr-ta pandita, para Naiyayika pun semua takut menghadapiNya dalam diskusi tentang kesusasteraan. Oleh karena Srī Caitanya Mahāprabhu sudah nikah, Beliau pergi ke Benggala Iimur di tepi sungai Padma untuk mendapatkan kekayaan. Di sana Beliau memperlihatkan pengetahuanNya dan memperoleh sejumlah uang. Pada waktu itu, Beliau kadang-kadang mengajarkan filsafat Vaisnava. Sesudah mengajarkan prinsip-prinsip filsafat Vaişnava kepada Tapanamišra, Beliau menyuruh supaya Tapanamišra pergi ke kota Benares dan tinggal di sana. Waktu Srī Caitanya tinggal di Benggala Timur, Laksmīdevi meninggal dunia karena digigit ular. Waktu Sri Caitanya pulang, Beliau menemui ibuNya yang sedang ber-kabung. Srī Caitanya menenangkan hati ibuNya dengan ceramah tentang kegiatan manusia yang selalu tidak ada kepastiannya.


Atas permohonan ibuNya Srī Caitanya nikah dengan Visnu priyā, putri Rājā Pandita Sanātana Misra. Rekan-rekanNya ikut bersama Srī Caitanya sesudah Beliau pulang dari pravāsa atau masa libur. Pada waktu itu Sri Caitanya begitu terkenal sehingga Beliau dianggap pandita yang paling ahli di seluruh Na Miśra dari Kashmir, yang Sudah menyandang gelar Digrijayi datang ke Nadia dengan maksud berdiskusi dengan para pandita d itu. Para profesor dari tola-tola di Nadia takut pada pandita dikatakan dia dapat mengalahkan semuanya. Karena itu, mereka ena kota dengan alasan ada undangan. Kesava bertemu dengan Mahän Barokona-ghäță di Māyāpur, dan sesudah diskusi yang singkat h dohu di Caitanya, Keśava dikalahkan oleh anak itu sehingga dia terpaksa me keunggulan Srī Caitanya. Nimai Pandita menjadi pandita yang Dalinting pada masa itu. seluruh Nadia. Keśava yang hebat, tempat di itu Waktu Mahāprabhu berumur 16 atau 17 tahun, Beliau berjalan-ialan Gayã bersama rombongan murid-muridNya. Di Gayā Beliau diterima sebagai murid secara rohani oleh Isvara Puri, seorang sannyasi Vaisnava Isvara Purī adalah murid Mādhavendra Puri, seorang Vaişnava yang terkenal. Setelah' pulang dari Nadia, Nimai Pandita mulai mengajarkan prinsip-prinsip keagamaan, dan sitat kerohanian menjadi begitu kuat dalamn DiriNya sehingga Advaita Prabhu, Srivāsa dan tokoh-tokoh lain yang dilahirkan sebelum Srī Caitanya dan sudah mengakui filsafat Vaişnava heran melihat perobahan dalam hati pemuda itu. Sebelumnya Nimäi Pan-dita tidak lebih daripada seseorang naiyayika yang suka berdebat, seorang smarta yang suka argumentasi dan seorang ahli pidato yang suka mencela. Sekarang Sri Caitanya hampir pingsan bila Beliau mendengar nama Krsna dan Beliau bertindak seperti orang yang mempunyai semangat tinggi karena pengaruh perasaan rohani. Murari Gupta, yang menyaksikan kegiatan Sri Caitanya secara losuci, kemudian datang dan melaporkan kepadaKu setiap sore hari tentang hasil kegiatan anda mengajar." Sesudah diberi perintah tersebut, Prabhu Nityänanda dan Haridāsa pergi. Mereka menemui Jagāi dan Mädhäi, dua pemabuk yang jahat sekali. Jagāi dan Mädhài menghina Nityänanda Prabhu dan Haridāsa setelah mendengar perintah Mahäprabhu, tetapi tidak lama kemudian mereka dirubah oleh pengaruh bhakti yang diajarkan oleh Srī Caitanya. Para penduduk Nadia heran. Mereka berkata, "Nimäi Pandita bukan hanya genius luar biasa, tetapi pasti Beliau adalah utusan dari TuhanYang Mahakuasa." Sejak waktu itu sampai berumur dua puluh tiga tahun, Mahaprabhu mengajarkan prinsip-prinsipNya tidak hanya di Nadia tetapijuga di semua kota dan desa di sekitar kota Nadia. Di rumah para pengikutNya, Beliau memperlihatkan keajaiban, mengajarkan prinsip prinsip rohanibhakti dan menyanyikan sañkirtana bersama bhakta-bhakta lainnya. Para pengikut Sri Caitanya di kota Nadia mulai menyanyi nama suci Hari di jalan jalan dan di pasar-pasar. Ini rnenyebabkan kejutan dan menimbulkan berbagai perasaan dari berbagai kalangan masyarakat. Para bhakta senang sekali. 


Para smārta brāhmana menjadi iri hati karena sukses Nimäi Pandita. Mereka mengadu kepada Chand Kazi tentang sifat-sifat Srī Caitanya yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Kazi datang ke rumah Srivasa Pandita dan memecahkan sebuah mrdanga (gendang bernama khola terbuat dari tanah liat). Kazi mengatakan bahwa Nimai Pandita harus menghetikan kegiatanNya yang aneh. Perintah ini disampaikan kepada Mahaprabhu. Mahāprabhu menyuruh penduduk kota untuk berkumpul pada waktu malam dan masing-masing membawa obor. Para penduduk kota melaksanakan perintah Nimai, dan Beliau berjalan-jalan bersama rombongan sankitana yang dibagi menjadi empat belas kelompok. Setiba di rumah Chand Kazi, Srī Caitanya mengadakan dialog panjang dengan Chand Kazi. Akhirnya Sri Caitanya menyampaikan pengaruh Vaişnava ke dalam hati Chand Kazi dengan cara menyentuh badannya. Pada saat itu Kazi menangis dan mengakui bahwa dia telah merasakan pengaruh rohani yang kuat dan pengaruh itu sudah menghilangkan keragu-raguannya dan menimbulkan rasa rohani di dalam hatinya yang memberikan kebahagiaan tertinggi kepadanya. Kemudian Chand Kazi ikut bersama rombongan sankirtana. Seluruh dunia heran melihat kekuatan rohani Mahäprabhu, dan beratus-ratus orang yang tadinya tidak percaya kepada Tuhan dirubah hingga ikut mengikuti Višvambhara sesudah peristiwa tersebut. Sesudah kejadian ini, beberapa branmana yang hatinya iri dan jahat ingin bertengkar dengan Mahaprabhu. Mereka mengumpulkan sejumlah orang untuk melawan Mahaprabhu, Sewajarnya Nimāi Pandita baik hati, walaupun Beliau berpegang teguh pada prinsip-prinsipNya. Srī Caitanya Mahaprabhu menyatakan bahwa perasaan partai-partai tersendiri dan pembentukan sekte-sekte merupakan dua musuh utama yang merintangi kemajuan, dan selama Beliau tetap menjadi penduduk Nadia dan anggota keluarga tertentu, missiNya tidak akan menemukan sukses yang lengkap. Kemudian Sri Caitanya bertabah hati untuk menjadi warga dunia dengan memutuskan hubungan dengan keluarga, golongan dan kepercayaanNya. Dengan ketabahan hati tersebut Srī Caitanya menerima kedudukan sebagai seorang sannyasī di Katwa, di bawah bimbingan Keśava Bharatī yang juga berasal dari kota itu. Pada waktu itu, Beliau berumur 24 tahun. IbuNya dan IstriNya menangis terisak-isak karena rindu kepada Sri Caitanya, tetapi Srī Caitanya berjiwa pahlawan: walaupun Beliau murah hati, namun Beliau berpegang pada prinsip-prinsipNya dengan kuat. Srī Caitanya meninggalkan dunia kecil di rumahNya untuk masuk dunia rohani Krsna yang tidak terhingga bersama manusia yang umum. Sesudah Sri Caitanya menerima sannyāsa, Beliau dibujuk untuk mengunjungi rumah Advaita Prabhu di Santipura. Advaita berhasil mengundang semua kawan-kawan dan penggemar Srī Caitanya dari Nadia Advaita membawa Sacīdevī untuk melihat anakNya. Sacidevī merasa sedih dan senang di dalam hatinya pada waktu dia melihat putranya berpakaian Sannyasi. Sebagai sannyāsi, Srī Caitanya hanya berpakaian sepotong kain kaupina (cawat) dan sepotong bahirvāsa (pakaian luar). Kepala Beliau digundul, dan tangannya membawa sebatang danda (tongkat) dan sebuah kamandalu (tempat air suci yang dibawa oleh petapa). Putra yang suci itu bersujud pada kaki padma ibuNya yang tercinta, lalu Beliau berkata, Ibunda! Badan ini adalah milik ibu, dan Aku harus mengikuti perintah- perintah ibu. Perkenankanlah Aku pergi ke rndāvana untuk mencapai kemajuan dalam kerohanian." Sesudah Ibu Srī Caitanya berkonsultasi dengan Advaita dan penyembah lainnya, dia memohonkan agar putranya tinggal di Purt (kota Jagannāțha) supaya sewaktu-waktu dia dapat memperoleh keterangan tentang kegiatan putraNya. Mahāprabhu me- ngabulkan permintaan tersebut, lalu beberapa hari kemudian Beliau berangkat dari Saāntipura menuju Orissa. Para penyusun riwayat hidup Sri Caitanya menguraikan perjalanan Srī Krsna Caitanya (itulah namayang diberi kan kepada Beliau sesudah Beliau menjadi sannvās) dari Säntipura ke Purī secara terperinci. Sri Caitanya berjalan-jalan di tepi sungai Bhagīrathī sampai Catrabhoga, yang sekarang terletak di Thanā Mathurāpura, Pelabuhan Diamond, 24 Parganas. Disana Beliau naik perahu sampai Prayāga-ghāața di daerah Midnapura. Dari Prayaga-ghāta Beliau berjalan kaki melalui Balasore dan Cuttack sampai Purī. Srī Caitanya melihat candi Bhūvanesvara dalam perjalananNya. Setiba di Puri, Beliau melihat Jagannātha di candi Nilacala. Srī Caitanya tinggal di rumah Sărvabhauma Bhattacarya atas permohonan Sarvabhauma. Sarvabhauma adalah seorang paņdita yang termasyur pada waktu itu. Pengetahuan Särvabhauma tidak terhingga Särvabhauma adalah naiyayika yang paling ahli pada waktu itu, dan beliau terkenal sebagai sarjana yang paling bijaksana di bidang filsafat Vedānta dari perguruan Sankarācārya. Särvabhauma di lahirkan di Nadia (Vidyanagara) dan beliau pernah mengajarkan filsafat nyāya kepada banyak murid di tola-nya di sana. Sarvabhauma telah berangkat ke Puri sebelum Nimai pandita dilahirkan. Ipar Sărvabhauma bernama Gopinātha Misra memperkenalkan sannyãsī yang baru ini kepada Särvabhauma. Sarvabhauma heran melihat ketampanan Beliau. Särvabauma takut bahwa mungkin pemuda itu akan mengalami kesulitan dalam mengikuti sannyasa- dnarma seumur hidupNya. Gopinātha, yang sudah kenal dengan Mahaprabhu semenjak Beliau masih tinggal di Nadia, sangat menghormati Mahaprabhu dan menyatakan bahwa sannyāsī itu bukan manusia biasa. Pada waktu itu terjadi diskusi yang panas antara Gopinātha danSärvabhauma. Kemudian Sārvabhauma memohon agar Mahāprabhu mendengarkan dia mengucapkan Vedānta-sūtra. Srí Caitanya, setuju tanpa Sepatah kata. Sri Caitanya mendengar apa yang dikatakan oleh Sarvabhauma dengan sikap serius tanpa mengeluarkan sepatah kata pun selama tujuh hari berturut-turut. Sesudah itu, Särvabhauma berkata, "Krsna Caitanya! Saya kira anda belum mengerti Vedānta, sebab anda belum mengucapkan sepatah kata pun sesudah menden jelasanku." Sī Caitanya menjawab bahwa Beliau sudah mengerti sūtra-sütra dengan baik, tetapi Beliau tidak dapat mengerti apa yang dimaksud oleh Sankarācārya dalam tafsirannya. Sārvabhauma kaget mendengar kata-kata itu, lalu dia berkata, Bagaimana mungkin anda dapat mengerti arti satra-sūtra itu tetapi belum mengerti ulasan-ulasan yang menjelaskan arti sūtra-satra itu? Baiklah! Kalau anda sudah mengerti sūtra-sūtra itu, silahkan memberikan tafsiran anda tentang sūtra-s ūtra itu kepada saya." Kemudian Mahāprabhu menjelaskan semua sutra-sutra memperhatikan tafsiran Sañkarācārya yang bersifat panteis (filsafat yang menganjurkan persembahyangan kepada banyak dewa). Sārvabhauma cer-das sekali hingga dia dapat melihat kebenaran, keindahan dan selarasnya argumentasi dalam penjelasan yang diberikan oleh Caitanya, lalu Sārvabhauma mengakui bahwa untuk pertama kalinya dia menemukan orang yang dapat menjelaskan Brahma-sutra dengan cara yang sesederhana itu. Sārvabhauma pun mengakui bahwa tafsiran-tafsiran Sankarācārya tidak pernah memberikan penjelasan mengenai Vedānta-sūtra yang sewajar penjelasan yang diperolehnya dari Mahāprabhu. Kemudian Sãrvabhauma menyerahkan diri sebagai pendukung dan pengikut Mahāprabhu. Sesudah beberapa hari Sarvabhauma menjadi salah seorang di antara Vaişnava-vaişnava yang paling baik pada waktu itu. Tatkala laporan mengenai kejadian ini tersebar, seluruh penduduk Orissa memuji kebesaran Krsna Caitanya, dan beratus-ratus orang datang kepada Beliau dan menjadi pengikutNya. Sementara itu, Mahāprabhu berminat untuk mengunjungi India Selatan, lalu Beliau berangkat dengan seorang brāhmana bernama Krsnadāsa untuk mengadakan perjalanan. Para penyusun riwayat hidup Sri Caitanya telah menguraikan perjalanan tersebut secara terperinci. Pertama-tama Sri Caitanya pergi ke Kurmakşetra. Di sana Beliau melakukan suatu keajaiban dengan menyembuhkan orang yang menderita sakit kusta bernama Väsudeva. Srī Caitanya bertemu dengan Ramänanda Räya, Gubernur Vidyānagara (kini kota madras), di tepi Sungai Godavari, lalu Srī Caitanya berdiskusi tentang filsafat bersama Ramånanda Raya mengenai prema-bhakti. Sri Caitanya melakukan keajaiban yang lain dengan cara menyentuh tujuh batang pohon talā sehingga tujuh batang pohon itu lenyap seketika. Srī Raāma, putra Dasarata, telah memanah dan membunuh Bali Rāja melalui tujuh batang pohon itu, Sri Caitanya mengajarkan filsafat Vaişnava dan nama-sañkirtana selama per- jalanan itu. Di Rangakşetra Beliau tinggal selama empat bulan di rumah Venkata Bhatta selama musim hujan. Di sana Beliau meyakini seluruh keluarga Veñkata Bhatta sehingga mereka beralih dari filsatat Vaişnava Ramanuja hingga mengikuti krsna-bhakti, termasuk putra Veńkata Bhatta, seorang anak berumur sepuluh tahun bernama Gopäla. Kemudian Gopala datang ke Vrndavana dan menjadi salah seorang di antara enam Gosvāmi atau orang-orang suci yang mengabdikan diri kepada Sri Krsna Caitanya. Gopāla diajarkan bahasa Sanskerterta oleh pamannya bernama Prabhodha nanda Sarasvati, dan dia menyusun beberapa buah buku tentang filsafat Vaişnava Caitanya mengunjungi beberapa tempat di India Selatan sampai Tanjung Comorin, dan kembali ke Purī sesudah dua tahun lewat Pandepura di tepi sungai Bhīma. Di Pandepura Srī Caitanya mengajarkan kerohanian kepada Tukarama, sesudah itu Tukarama sendiri menjadi seorang guru kerohanian. Kenyataan iní sudah diakui dalam ayat-ayat berjudul ābhāńga hasil karya Tukäräma, yang sudah disusun dalam sebuah buku oleh Satyendra Nath Tagore dari Bombay Civil Service. Selama perjalanannya Sri Caitanya mengadakan diskusi dengan pengikut berbagai agama dan para Māyāvadi di beberapa tempat dan meyakinkan mereka hingga mengikuti filsafat Vaişnava.Sesudah Sri Caitanya kembali ke Puri, Raja Pratāparudra-deva dan beberapa brāhmana-pandita menjadi pengikut Caitanya Mahāprabu. Pada waktu itu Sri Caitanya berumur dua puluh tujuh tahun. Waktu Srī Caitanya berumur dua puluh delapan tahun, Beliau pergi ke Benggala sampai Gauda di Malda. Di sana Beliau menemui dua kepribadian yang mulia bernama Rupa dan Sanätana. Walaupun Rupa dan Sanātana keturunan brāhmanadari Karnātaka ke dua saudara itu mengalami kesulitan dalam kerohanian karena mereka senantiasa bergaul dengan Hussain Shah, yang pada waktu itu menjadi raja di Gauda. Nama-nama mereka sudah dirubah oleh Hussein Shah menjadi Dabir_ Khās dan Sakara Malik, dan Hussain Shah mencintai mereka dengan tulus hati karena mereka pandai berbahasa Parsi, bahasa Arab dan bahasa Sanskerta mereka mengabdi kepada negara dengan setia. Ke dua orang itu tidak menemukan cara untuk mengatasi masalah keroha-nian yang dihadapinya, dan mereka telah menulis surat kepada Mahäprabhu untuk mohon bantuan rohani pada waktu Beliau tinggal di Puri. Mahāprabhu telah membalas surat-surat itu dan menyatakan bahwa Beliau akan bertemu dengan mereka dan membebaskan mereka dari ke sulitan rohaninya. Srī Caitanya telah datang ke Gauda, ke dua saudara ituu datang kepada Beliau dan menyampaikan doa minta pertolongan yang sudah diucapkannya sejak dahulu. Mahāprabhu menyuruh mereka pergi ke Vrndāvana dan bertemu dengan Beliau di sana. Sr Caitanya kembali ke Purī melalui Sāntipura. Di Sāntipura Beliau bertemu dengan ibunya yang tercinta sekali lagi. Sesudah tinggal di Puri selama beberapa waktu, Beliau berangkat ke Vrndāvana. Kali ini Beliau ditemani oleh Balabhadra Bhattācārya. Srī Caitanya mengunjungi Vrndāvana dan datang ke Prayāg (Allahabad) dan meyakini banyak orang hingga mereka mengikuti filsafat Vaisnava dengan argumentasi dari Kitab SucL. Keturunan dari Vaisnava-vaişnava itu masih bernama para Pathana Vaisnava sampai sekarang. Rüpa Gosvämi bertemu dengan Sri Caitanya di Allahabhad. Srī Caitanya melatih Rūpa Gosvaāmi dalam kerohanian selama sepuluh hari, lalu Beliau menyuruh Rüpa Gosvāmi pergi ke Vrndāvana untuk melaksanakan beberapa tugas suci. Tugas pertama yang diper-cayakan kepada Rūpa Gosvāmī ialah menyusun buku-buku kerohanian yang menjelaskan secara ilmiah mengenai bhakti dan prema yang murni tempat-tempat Krsnacandra Tugas ke dua ialah menggali dan memuga telah memperlihatkan lilā (kegiatan) rohaniNya pada akhir Dvāpara-yuga demi kesejahteraan dunia kerohanian. Rūpa Gosvāmī berangkat dari Allahabad ke Vrndāvana, dan Mahäprabhu pergi ke Benares. Di Benares Beliau tinggal di rumah Candrasekhara dan makan setiap hari (bhiksā) di rumah Tapana Misfa. Di sinilah Sanätana Gosvāmî bertemu dengan Sri Caitanya dan mendengar ajarannya selama dua bulan mengenai keroha nian. 


Para penyusun riwayat hidup Srī Caitanya, khususnya Krsnadäsa Kavirāja, menguraikan ajaran Sri Caitanya kepada Rūpa dan Sanatana. Krsnadāsa tidak menulis riwayat Srī Caitanya pada waktu Srī Caitanya sedang melakukan kegiatanNya, tetapi beliau mengumpulkan keterangan dari para Gosvämi. Para GOSvami berguru langsung kepada Mahāprabhu. Srilā Jiva Gosvāmī, keponakan Sanātana dan Rupa, menyusun karya filsafat yang sangat berharga berjudul Sat-sandarbha. Srilāa Jiva Gosvāmi mengemukakan filsafat ajaran Sri Caitanya. Kami mengumpulkan dan menyusun ikhtisar ajaran sri Caitanya berdasarkan buku-buku hasil karya penulis-penulis yang mulia tersebut.Di Benares Srī Caitanya berdiskusi dengan para sannyāsî yang bijaksanadi kota itu. Diskusi tersebut diadakan dirumah seorang braāhmaņa dari Maratha yang telah menjamu semua sannyāsī dirumahnya. Pada waktu itu Sri Caitanya memperlihatkan keajaiban DiriNya yang menarik hati semua sannyasi. Kemudian ada percakapan dengan pertanyaan dan jawaban antara Sri Caitanya dan para sannyasiyang diketuai oleh pemimpinnya yang bijaksana bernama Prakäsānanda Sarasvati. Sesudah perselisihan taham yang singkat, mereka menyerahkan diri kepada Mahāprabhu dan mengakui bahwa mereka telah disesatkan oleh tafsiran Sankaracarya. Sarjana yang bijaksana sekalipun tidak dapat melawan Sri Caitanya, selama jangka waktu panjang, sebab ada sesuatu yang ajaib dalam DiriNya yang me nyentuh hati mereka sehingga mereka menangis demi kemajuan rohaninya. Para sannyasi di Benares langsung bersujud pada kaki Srī Caitanya dan memohon karuniaNya (kripā). 


Kemudian Srī Caitanya mengajarkan bhakti. yang murni dan mengisi hati mereka dengan cinta bhakti rohani kepada rsna sehingga mereka meninggalkan perasaan yang bersitat sekte-sekte. Sesudah para sannyasi di rubah secara ajaib, seluruh penduduk Benares menjadi Vaişnava, dan mereka mengadakan sankirtana secara besar- besaran bersama SrTiCaitanya. Sesudah mengutuskan Sanatana ke Vrndavana, Mahāprabhu pergi ke Purī sekali lagi melalui rimba-rimba bersama rekanNya yang bernama Balabhadra. Balabhadra melapor bahwa Mahaprabhu melakukan banyak keajaiban dalam perjalanan ke Purt, misal-nya menyebabkan harimau dan gajah menari sesudah mendengar namna suci Krsna. Setelah kembali ke Puri, yaitu semenjak Beliau berumur 31 tahun, Mahaprabhu tinggal di Puri terus menerus di rumah Kaši Mišra sampai Beliau menghilang dalam usia 48 tahun pada waktu sañkirtana sedang diadakan di candi Totagopinātha. Selama 18 tahun ini, hidup Beliau penuh cinta bhakti yang damai dan kegiatan rohani. Srī Caitanya ditemani olehbanyak pengikutNya. Semua pengikut Sri Caitanya adalah Vaişnava- vaisnava yang memiliki sifat-itat yang paling mulia. 


Mereka lain dari pada orang-orang awam, karena sifat-sitat mereka paling suci, mereka sangat bijaksana, mereka berpegang teguh pada prinsip-prinsip kerohanian dan penuh cinta bhakti rohani kepada Rādhā Krsņa. Svarūpa Dāmodara, yang semula bernama Puruşottamācārya selama Mahāprabhu tinggal di Nadia, datang dari Benares dan mengabdikan diri kepada Srī Caitanya sebagai sekretarisNya di Purī. Karya-karya tulis dari penyair atau filosof manapun tidak pernah diberikan kepada Sri Caitanya kalau Svarupa Damodara belum menyetujuinya terlebih dahulu sebagai karya tulis yang murni dan berguna. Rāmānanda Raya juga menjadi rekanNya yang paling dekat. Rāmananda dan Svarupa suka bernyanyi sambil Mahāprabhu mengucap-kan isi hatiNya mengenai hal-hal yang menyangkut sembahvang. Paramänanda Purī menjadi penasihat Sri Caitanya tentang hal-hal ke- rohanian. Ada beratus-ratus ceritera yang diuraikan oleh para penyusun riwayat hidup Srī Caitanya, tetapi ceritera-ceritera itu tidak dicantumkan disini. Mahāprabhu tidur sedikit sekali. Perasaan rohani Srī Caitanya mem- bawa DiriNya jauh ke dalam langit kerohanian setiap siang dan malam hari. Semua penyembah dan pengikutNya memandang Beliau senantiasa. srr Caitanya bersembahyang, dan berkomunikasi dengan utusan-utusanNya di Vrndāvana. Beliau bercakap-cakap dengan orang-orang yang taat kepadaprinsip-prinsip kerohanian yang baru datang untuk bertemu dengan Beliau. Sri Caitanya menyanyi dan menari, tidak memelihara DiriNya dan sering kali terharu dalam rasa kerohanian yang indah. Semua orang yang datang untuk bertemu dengan Srī Caitanya percaya bahwa Sri Caitanya adalah Tuhan Yang Mahasuci yang muncul di dunia ini demi kesejahteraan manusia. Beliau selalu mencintai ibunya dan sewaktu-waktu Beliau mengirim mahāprasāda kepada ibunya dengan cara menitipkan kepada orang yang berangkat ke Nadia. Mahāprabhu mempunyai sifat sangat baik hati. Srī Caitanya adalah penjelmaan sifat rendah hati. Wajah SrT Caitanya yang manis menyenangkan hati semua orang yang mengadakan hubungan denganNya. 


Beliau mengangkat Prabhu Nityānanda sebagai utusanNya untuk wilayah Benggala. Beliau mengutuskan enam orang di antara murid- muridNya (para Gosvāmı) ke Vrndavana untuk mengajarkan cinta bhakti rohani di daerah Utara. Srī Caitanya menghukum semua muridNya yang menyimpang dari kehidupan yang suci. Chota Haridāsa adalah salah seorang murid Srī Caitanya yang di hukum dengan tegas sekali oleh Beliau. Sri Caitanya tidak pernah segan memberikan pelajaran yang benar tentang kehidupan kepada siapapun yang minta pelajaran. Kenyataan ini dapat dilihat dalam ajaran Sri Caitanya kepada Raghunātha dāsā Gosvāmī. Tingkah laku Srī Caitanya terhadap Haridāsa (yang lebih tua) membuktikan sejauh mana Beliau mencintai orang-orang rohani dan sejauh mana Beliu tidak mempedulikan perbedaan kasta dalam persaudaraan rohani.





LihatTutupKomentar